GENCILNEWS – Merespon hasil Survei LSI Denny JA dan Poltracking tentang hasil Pilkada Kalbar, Rabu, 27 Juni 2018, yang akhirnya diklaim sebagai kemenangan hasil akademik, Ketua PDIP Kalimantan Barat Cornelis memberitahukan bahwa metode riset survei adalah metode riset yang paling lemah dalam konteks akademik.
Metode survei baru bisa dikatakan bernilai akademik bila data survei itu diintegrasikan dengan data observasi.
Dalam konteks Pilkada Kalbar, data observasi itu harus meliputi wilayah keseluruhan Kalbar.
“Sehingga survei Pilkada Kalbar yang dilakukan oleh kedua lembaga survei itu tidak bisa dikategorikan ilmiah dan akademik,” ungkapnya kepada wartawan saat Konpers di Kantor PDIP Kalbar, Sabtu 30 Juni 2018.
Gubernur Kalbar dua periode lalu itu menjelaskan ada empat komponen alasan yang menyebabkan metode survei seringkali tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
“Akhirnya klaim yang menyebut bahwa pasangan Sutardmiji-Norsan sudah menang secara akademik adalah klaim yang membajak hak warga Kalbar yang tidak bisa dibenarkan. Warga Kalbar yang dibajak haknya dianggap bodoh dan dianggap tidak mengerti prinsip-prinsip akademik. Itu juga berarti kejahatan kemanusiaan,” paparnya.
Beberapa metode survey yang dilakukuan, pertama, coverage error. Ini merujuk pada luasnya respondent yang harus dicakup dalam survei. Misalnya Pilkada Gubernur Kalbar ada sekitar 11.500 TPS. Tetapi survei untuk QC hanya mensurvei 350 TPS. Ini berarti kurang dari 5 persen populasi respondent maka jelas ini tidak bisa diterima secara akademik yang datanya solid.
Kedua, sampling error. Ini merujuk pada sistim sample random yang seharus merata, bukan berpusat pada tempat tertentu yang akhirnya tidak mewakili respondent yang luas.
“Apakah sistim random sample yang dibuat oleh kedua lembaga survei di atas benar-benar disebar? Atau hanya ambil sample pada tempat-tempat tertentu saja? Kalau tidak mewakili semua wilayah dalam sistim randomnya maka data yang dihasilkan itu manipulatif dan tidak bisa diterima secara akademik,” tuturnya.
Ketiga, non response error. Ini merujuk pada data tidak dikumpulkan mewakili semua respondent yang sedang menjadi objek penelitian. Dari jumlah TPS yang jadi sampling responden sebanyak sekitar 350 an TPS maka jelas error itu terjadi dan tidakbisa diterima secara akademik.
Keempat, measurement error. Ini merujuk pada motivasi peneliti dalam menafsirkan atau menggiring hasil survei terserah si peneliti. Dalam konteks Pilkada Gubernur Kalbar, jelas sekali bahwa kedua lembaga survei itu adalah konsultan politik lawan tandingnya maka pengukuran hasil survei pasti bias demi kepentingan diri mereka sendiri.
Sehingga hasilnya jelas merupakan kejahatan akademik. Jangankan bernilai akademik. Ini survei kejahatan akademik.
“Lihat Survei Research – Stanford university. Oleh: Penny S. Visser, Jon A. Krosnick, dan Paul J. Lavrakas. P.225),” urainya.
Lalu beberapa juga alasan metode survei tidak dapat dipercaya, bila pertama, people lie (peneliti dan responden sama-sama melakukan kebohongan). “Dalam dunia politik itu sering dilakukan,” tegasnya.
Kedua, pertanyaan-pertanyaan dibuat untuk mengarahkan pada maksud yang diinginkan. Dalam konteks Pilkada yang disurvei oleh konsultan politik maka jelas hal itu tidak bisa dihindari.
Ketiga, adanya bias dari individu; baik yang mensurvei maupun yang disurvei. Konteks Pilkada itu pasti terjadi maka tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Keempat, ditambahkan Presiden Adat Dayak tersebut juga menjelaskan jika inconsistency and high level of error, peneliti dan sample respondent tidak konsisten dan tingkat errornya sangat tinggi, khususnya dalam konteks wilayah Kalbar yang sangat luas dengan sebagian besar masyarakat di pedalaman maka tingkat manipulatif data sangat-sangat tinggi.
Menurut Nadler, akademik adalah proses dimana kita mengetahui sebuah kebenaran.
“Tetapi, yang dilakukan oleh survei kedua lembaga LSI dan Poltracking adalah proses untuk membenarkan hipotesis diri sendiri atau membuat benar diri sendiri, dalam hal ini kebenaran pasangan kami menang,” pungkasnya. (dpw)