Pemerintah sedang menggodok perubahan formulasi penyaluran subsidi BBM dan listrik agar lebih tepat sasaran. Laporan-laporan menyebutkan, setidaknya 30 persen dari subsidi BBM serta listrik tidak tepat sasaran.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan penggunaan subsidi BBM dan listrik yang tidak tepat sasaran mencapai Rp100 triliun per tahun.
“Jujur saya katakan, kurang lebih sekitar 20-30 persen subsidi BBM dan listrik itu berpotensi tidak tepat sasaran. Itu gede, angkanya ya kurang lebih Rp100 triliun,” ungkap Bahlil dalam konferensi pers usai rapat koordinasi terbatas dengan Kemenko Perekonomian di Jakarta, Minggu (3/11).
Maka dari itu, ungkapnya, pihaknya beserta kementerian dan lembaga terkait sedang menggodok skema baru penyaluran subsidi BBM serta listrik. Bahlil mengaku diberikan waktu oleh Presiden Prabowo Subianto untuk menyusun format itu dalam waktu dua minggu.
Dalam rapat perdana dengan berbagai pihak terkait yang dilakukan pada Senin (4/11), kata Bahlil, pemerintah akan mengusulkan beberapa hal kepada Prabowo, salah satunya adalah untuk tidak mencabut subsidi gas LPG.
“Yang jelas kami sudah memutuskan, untuk LPG kami akan mengusulkan kepada bapak presiden untuk tidak dilakukan koreksi apa-apa. Artinya untuk LPG masih berlaku seperti sekarang ini. Itu yang kami akan usulkan kepada Bapak Presiden, karena itu terkait dengan UMKM, ibu rumah tangga, konsumsi rumah tangga,” jelas Bahlil.
Sementara itu, katanya, terkait format subsidi untuk BBM dan listrik, pihaknya masih akan melakukan exercise yang lebih mendalam, sembari menunggu laporan dari pihak-pihak terkait seperti Pertamina, BPH Migas dan PLN. Mekanisme cash transfer atau bantuan langsung tunai (BLT) menjadi salah satu opsi yang dipertimbangkan.
“BLT itu adalah salah satu opsi, namun akan diputuskan nanti pada hari yang tepat, dan saya pikir opsinya lebih mengerucut ke sana. Andaikan pun nanti terjadi subsidi, nanti sebagian kayak kendaraan umum, plat kuning itu masih kami pertimbangkan untuk tidak dicabut subsidinya. Ini kan sebenarnya semuanya harusnya subsidi, cuma ada yang tidak tepat sasaran, yang tidak tepat sasaran ini kita bentuk yang lain. Tapi yang sudah sesuai sasaran tetap jalan. Jadi subsidi tetap ada, cuma ada yang berbentuk cash dan ada yang berbentuk barang,” jelasnya.
Menurutnya, kebijakan yang akan diambil nanti akan mempertimbangkan berbagai hal penting seperti inflasi, lapangan pekerjaan, serta pertumbuhan ekonomi. “Kita bicara pemerataan, nelayan-nelayan juga harus kita pertimbangkan, kemudian pertanian harus dipertimbangkan. Memang tidak gampang untuk membuat keputusan ini harus betul-betul hati-hati,” jelasnya.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan pemerintah memang perlu mengubah skema penyaluran subsidi BBM dan listrik mengingat jumlah kebocoran yang tidak sedikit per tahunnya.
Skema BLT untuk menyalurkan subsidi BBM dan listrik tersebut, katanya, bisa dilakukan asalkan disertai dengan data yang akurat. Mekanisme BLT atau pemberian uang tunai secara langsung sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi pemerintah. Namun, katanya, terkait dengan pembagian BLT khusus untuk BBM dan listrik perlu dilakukan pembenahan data kembali, mengingat data untuk pembagian BLT sebelumnya adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat miskin.
“Memang untuk mengubah menjadi semacam BLT ini akan lebih tepat sasaran, karena yang menerima itu sudah ditetapkan, hanya data itu harus valid, harus ditetapkan siapa yang memang berhak. Kalau kemudian menggunakan skema BLT, ini tidak tepat karena peruntukannya berbeda. BLT lebih kepada masyarakat yang benar-benar miskin, untuk membantu dalam membiayai biaya hidup atau memenuhi kebutuhan bahan pokok di luar BBM. Nah kalau untuk membeli BBM menggunakan data BLT (yang sudah ada) itu tidak tepat karena barangkali banyak juga yang penerima BLT tidak punya kendaraan bermotor,” ungkap Fahmi.
Maka dari itu, Fahmi menyarankan kepada pemerintah untuk mempersiapkan data yang valid dan melakukan pembaharuan data secara regular agar ke depannya subsidi ini tepat sasaran. Fahmy memperkirakan pemerintah akan membutuhkan waktu sekitar enam bulan hingga satu tahun untuk melakukan sinkronisasi data.
“Sambil menunggu tadi, maka terapkan dulu pembatasan, jadi masih dipertahankan by product tetapi ada upaya pemerintah untuk membatasi agar tepat sasaran. Menurut saya gunakan saja kriteria yang sederhana, tapi dapat diterapkan di SPBU yang sifatnya sementara sembari menunggu data yang valid. Kriteria tadi misalnya ditetapkan dalam peraturannya itu adalah yang boleh membeli BBM subsidi adalah pemilik sepeda motor kemudian angkutan umum, plat kuning, angkutan barang, di luar itu harus membeli BBM non subsidi seperti pertamax ke atas. Itu menurut saya segera saja diterapkan, bulan depan itu bisa,” tuturnya.
Sementara itu, pengamat energi Fabby Tumiwa mengatakan subsidi ini sebenarnya sudah bisa dicabut oleh pemerintah, dan diberlakukan skema BLT kepada masyarakat yang membutuhkan apalagi menurutnya pemerintah sudah memiliki database yang cukup lengkap.
“Kalau saya lihat juga sebenarnya data-data orang miskin yang dimiliki pemerintah cukup lengkap, sampai 40 persen rumah tangga termiskin pemerintah punya datanya. Jadi tinggal datanya diupdate saja menurut saya, karena program penanggulangan kemiskinan sudah berlangsung lama, sejak dulu. Secara data saya kira cukup kita bisa dan kalau ada kekurangan bisa dilengkapi. Jadi bukan kemudian nunggu sampai data lengkap, itu menurut saya terlalu lama, karena ini keputusan harus dibuat cepat,” ungkap Fabby.
Ia menyarankan kepada pemerintah untuk segera memutuskan formulasi atau skema baru penyaluran subsidi BBM dan listrik. Meskipun bukan kebijakan populer, hal ini harus dilakukan demi terciptanya reformasi penyaluran subsidi yang lebih tepat ke depannya.
“Efektif atau tidak ya harus dicoba, kalau tidak pernah dicoba ya bagaimana bisa tahu. Dari situ ada mekanisme evaluasi. Saya kira pemerintah akan sangat hati-hati, akan dilihat juga efeknya kepada daya beli dan lain-lain tetapi menurut saya harus ada keberanian untuk memulai. Persoalannya di 10 tahun terakhir era Pak Jokowi, beliau tidak mau mengambil (kebijakan) itu selalu ditunda-tunda. Menurut saya kalau ada yang kurang-kurang ya nanti dilengkapi, yang penting sedapat mungkin risiko sudah terpetakan dan langkah perbaikannya sudah disiapkan. Artinya ini keputusan yang harus dibuat segera oleh Presiden, tapi dasar pembuatan keputusan itu tentunya berdasarkan data dan informasi yang seakurat mungkin,” pungkasnya.