Dua video yang menunjukkan dua orang, yang diduga sebagai warga negara Indonesia, yang mengaku disekap dan disiksa di Myanmar viral. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia kontak mitranya untuk berupaya menyelamatkan.
Suara-suara lirih minta tolong yang disampaikan puluhan orang dalam dua video yang kini viral di Indonesia menarik perhatian Kementerian Luar Negeri setelah diketahui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia (WNI) yang diduga merupakan korban tindak pidana perdagangan orang. Mereka mengaku disekap dan disiksa di Myawaddy, Myanmar.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan pihaknya sudah berkoordinasi dengan KBRI di Yangon dan memperkirakan puluhan WNI itu berada di Hpa Lu, wilayah terpencil di Myawaddy, Myanmar. Wilayah tersebut adalah lokasi konflik bersenjata yang saat ini dikuasai pihak pemberontak.
KBRI Yangon kata Judha, juga telah berkoordinasi dan berkomunikasi dengan pihak berwenang Myanmar, terutama jejaring di Myawaddy. Pihak KBRI juga telah berhasil berkomunikasi dengan sebagian dari WNI tersebut.
“Ini kan ada beberapa orang, ceritanya macam-macam. Mereka nggak satu kelompok, datang (ke Myanmar) tidak bersamaan. Ada yang mengaku ditipu. Kita masih dalami juga karena ada yang mengaku sudah tiga tahun tinggal di sana,” kata Judha kepada VOA, Senin (9/9).
Ditambahkannya, mereka diiming-imingi pekerjaan dan melakukan scamming. KBRI Yangon mencatat hingga kini ada 63 warga Indonesia di Myawaddy. Dari jumlah itu, 38 orang ada di Paluh.
Puluhan WNI yang berusia antara 20-30 tahun itu kebanyakan berasal dari Sumatera Utara, Bali, dan Jawa Timur.
Lebih jauh Judha menjabarkan pola penipuan yang sama, yakni ditawari bekerja – dan kebanyakan ditawarkan bekerja di Thailand – tapi kemudian dibawa ke Myanmar. Upaya penyelamatan dan evakuasi diperkirakan akan membutuhkan waktu karena Myawaddy merupakan bagian dari daerah konflik bersenjata.
Sejak tahun 2020 ada 3.703 kasus online scam yang sudah ditangani Kementerian Luar Negeri, di mana para korban telah dipulangkan ke Indonesia. Namun kasus serupa kerap terulang.
Oleh karena itu Judha menegaskan bahwa pencegahan sejak dari hulu perlu ditingkatkan. Ini diawali dari peningkatan keadaran masyarakat ketika mendapat tawaran bekerja di luar negeri tanpa kualifikasi khusus, tetapi diiming-imingi gaji tinggi. Ia menyerukan agar dibuat kampanye untuk mengajak masyarakat senantiasa memverifikasi setiap informasi yang diterima kepada pihak berwenang terlebih dahulu.
“Kalau ada tawaran bekerja di luar negeri tanpa visa kerja dan tidak ada kontrak kerja yang ditandatangani di dalam negeri, maka jangan diterima. Dia melihat ada kecenderungan sebagian masyarakat bertindak nekat krena tekanan ekonomi dan sebagainya,” lanjutnya.
Migrant Care Kritisi Lemahnya Pengawasan Pemerintah
Koordinator Advokasi Kebijakan Migrant Care, Siti Badriyah mengkritisi lemahnya pengawasan pemerintah sebagai penyebab terus berulangnya kasus online scam.
“Ketika ada korban mengungkap kasus oneline scam) itu juga tidak ada tindakannya. Kemudian informasi lowongan (kerja) juga masih bebas. Harusnya Kominfo bbisa menutup akun-akun media sosial yang menjadi tempat promo lowongan-lowongan itu,” ujarnya.
Badriyah menambahkan faktor lainnya adalah minimnya lapangan pekerjaan di Indonesia, sementara banyak tenaga terdidik yang sudah berpendidikan, melek teknologi, internet dan media sosial. Ini membuat mereka langsung menyambut tawaran pekerjaan di luar negeri dibandingkan berada di tanah air tanpa kepastian pekerjaan dan pendapatan.
Ia menyampaikan kesiapannya bekerjasama untuk menggencarkan kampanye bahaya kejahatan online scam ke pelosok-pelosok Indonesia sehingga tidak ada lagi korban baru. Di sisi lain, Badriyah mendesak sanksi hukum yang berat terharap para pelaku dan pemblokiran situs media sosial yang menjadi wahana promosi lowongan pekerjaan online scam seperti kasus terbaru di Myawaddy, Myanmar itu.