Scroll untuk baca artikel
Lintas Kalbar

Ini Dia Sejarah Asal Mula Terbentuknya Kabupaten Kayong Utara dan Sejarah Kalimantan Barat

×

Ini Dia Sejarah Asal Mula Terbentuknya Kabupaten Kayong Utara dan Sejarah Kalimantan Barat

Sebarkan artikel ini
Ini Dia Sejarah Asal Mula Terbentuknya Kabupaten Kayong Utara dan Sejarah Kalimantan Barat
Ini Dia Sejarah Asal Mula Terbentuknya Kabupaten Kayong Utara dan Sejarah Kalimantan Barat

GENCIL NEWS – KAYONG UTARA – Kabupaten Kayong Utara menyimpan banyak keindahan alam yang aduhai untuk ditelusuri. Kita pun dibuatnya kagum, namun tahukah Anda sejarah asal mulanya terbentuk Kabupaten Kayong Utara?

Nah bagi Anda yang belum mengetahui persis tentang sejarah terbentuknya Kayong Utara, tidak salahnya untuk membaca pemaparan artikel berikut yang kami kutip dari blog netizen, saparuddin-sejarahkayong.blogspot.co.id.

Dengan membacanya, kita pun dibuat seakan sedang berada di masa awal dibentuknya Kabupaten Kayong Utara. Seakan kita tengah menyaksikan dan menjadi saksi terbentuknya Kabupaten yang menyimpan banyak keindahan alam tersebut.

Yuk kita mulai dari sejarahanya.

SEJARAH MASA LALU KABUPATEN KAYONG UTARA

Toleransi Khas Pulau Kumbang

Pulau Kumbang di masa silam salah satu kawasan labuhan (tempat bongkar-muat barang di lalu lintas laut) bagi kaum Lanang, pedagang Melayu berasal dari Palembang (Sumatera Selatan). Di masa silam warga Lanang sendiri mayoritas muslim dan lainnya penganut kepercayaan kebatinan (kalau di bahasa modern Islam KTP).

Di masa kejayaan kaum Lanang terkenal sebagai antarpulau yang menguasai pesisir barat Pulau Kalimantan hingga kepulauan Mindanao (Filipina), bahkan terjalin hubungan mesra antara Kesultanan Sulu (kerajaan Melayu di bagian negara Filipina sekarang).

Pun demikian, ketika warga Khonghucu di Desa Pulau Kumbang, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara (KKU), memiliki rumah ibadah yang lebih representatif atau biasa disebut kelenteng, warga Muslim di situ dengan mesra menyambutnya.

Ini bukti toleransi beragama di KKU yang sudah termasyhur sejak zaman Tanjungpura, selalu terbina dengan baik dan saksama. Rumah ibadah ini dinamakan kelenteng Thian Shi Chiung, diresmikan pada, Jumat (15/7) pukul 00.00 WIB, atau bertepatan dengan tanggal 16 tahun 2562 Imlek.

Peresmian rumah ibadah ini dimeriahkan dengan atraksi kelompok barongsai dari Teluk Melano di bawah pimpinan Lim Bu Seng. Ini merupakan satu-satunya kelompok barongsai di KKU.

Kepala Desa Pulau Kumbang, Asnawi juga menghadiri peresmian rumah ibadah umat Konghucu yang merupakan satu-satunya di Pulau Kumbang. Peresmian ini dibuka seorang louya (tatung), Ho Jit San dari Sungai Semut, Kecamatan Simpang Hilir (KKU).

Disebutkan, rumah ibadah yang berdiri tepat menghadap matahari terbit ini mencapai Rp 80 juta. Dana tersebut berasal dari swadaya umat Konghucu yang ada di KKU.

Ketua Umum Yayasan Vihara Maharatna Sukadana, Lim Mong Seng juga hadir dalam peresmian itu mengungkapkan, kelenteng yang diresmikan belum sepenuhnya rampung. Oleh karenanya, untuk menyempurnakan rumah ibadah tersebut masih memerlukan dana.

Rumah ibadah umat Konghucu di Kabupaten Kayong Utara masih di bawah sepuluh bangunan. Di antaranya tersebar di Kecamatan Sukadana, Simpang Hilir, Teluk Batang dan Pulau Maya Karimata.

Padahal menurut sejarah, pernah ada pemerintahan lanun (bajak laut) Tionghoa selama sekitar 100 tahun di Sukadana (ibukota KKU). Pemerintahan orang-orang Tionghoa di Sukadana, dikarenakan Sukadana yang pernah menjadi ibukota Kerajaan Tanjungpura, ditinggalkan penerusnya karena sering diserang kerajaan lain maupun para lanun dari Laut Tiongkok Selatan, serta Sultan Zainuddin kala itu memecah kerajaannya untuk diberikan kepada anak-anaknya,

Kekosongan Sukadana, membuat lanun Tionghoa dari Laut Tiongkok Selatan mendirikan markas besarnya di situ. Melihat lalu lintas perdagangan yang bagus, pemerintah kolonial Belanda memintai cukai dari para pedagang yang dilindungi lanun Tionghoa yang bermarkas di Sukadana.

Penguasa pemerintahan lanun Tionghoa di Sukadana menolak tawaran belanda karena belasting (pajak) yang dimintai Belanda terlalu tinggi. Akibatnya skuadron (sebutan angkatan laut Belanda kala itu) yang bermarkas di Riau, memblokade kapal-kapal dagang yang hendak ke pesisir selatan Kalimantan. Kemudian pada tahun 1824, skuadron Belanda dengan didukung prajurit Siak-Riau, mulai menyerang dan memburu para lanun Tionghoa yang bermarkas di Sukadana itu.

Walaupun pemerintahan lanun Tionghoa di Sukadana sempat meminta bantuan skuadron Inggris di Singapura, namun terlambat. Karena Belanda sudah menguasai Sukadana, benteng kayu di tepi pantai Sukadana, dibakar habis. Dalam pendaratan tentara Belanda, barulah diketahui, kalau pemerintahan lanun di Sukadana, berasal dari berbagai suku bangsa, namun ketuanya seorang Tionghoa yang biasa jadi bajak laut di Laut Tiongkok Selatan.

Sejarah Kalimantan Barat

Menurut kakawin Nagarakretagama (1365), Kalimantan Barat menjadi taklukan Majapahit, bahkan sejak zaman Singhasari yang menamakannya Bakulapura. Menurut Hikayat Banjar (1663), negeri Sambas, Sukadana dan negeri-negeri di Batang Lawai (nama kuno sungai Kapuas) pernah menjadi taklukan Kerajaan Banjar sejak zaman Hindu. Sejak 1 Oktober 1609, Kerajaan Sambas menjadi daerah protektorat VOC Belanda.

Sesuai perjanjian 20 Oktober 1756 VOC Belanda akan membantu Sultan Banjar Tamjidullah I untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Sanggau, Sintang dan Lawai (Kabupaten Melawi).

Menurut akta tanggal 26 Maret 1778 negeri Landak dan Sukadana diserahkan kepada VOC Belanda oleh Sultan Banten. Inilah wilayah yang mula-mula menjadi milik VOC Belanda selain daerah protektorat Sambas.

Pada tahun itu pula Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam direstui VOC Belanda sebagai Sultan Pontianak yang pertama dalam wilayah milik Belanda tersebut. Pada tahun 1789 Sultan Pontianak dibantu Kongsi Lan Fang diperintahkan VOC Belanda untuk menduduki negeri Mempawah.

Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam dari Banjar menyerahkan Jelai, Sintang dan Lawai (Kabupaten Melawi) kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada 1855, negeri Sambas dimasukan ke dalam wilayah Hindia Belanda menjadi Karesidenan Sambas.

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal yang dimuat dalam STB 1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa ibukota wilayah administratif Gouvernement Borneo berkedudukan di Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir, salah satu diantaranya adalah Residentie Westerafdeeling Van Borneo dengan ibukota Pontianak yang dipimpin oleh seorang Residen.

Pada tanggal 1 Januari 1957 Kalimantan Barat resmi menjadi provinsi yang berdiri sendiri di Pulau Kalimantan, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tanggal 7 Desember 1956. Undang-undang tersebut juga menjadi dasar pembentukan dua provinsi lainnya di pulau terbesar di Nusantara itu. Kedua provinsi itu adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Suku

Daerah Kalimantan Barat dihuni oleh Penduduk Asli Dayak dan kaum pendatang lainnya dari Sumatra dan kaum urban dari tiongkok dan daerah di Indonesia lainnya. Suku Bangsa yang Dominan Besar yaitu Dayak ,Melayu dan Tionghoa, yang jumlahnya melebihi 90% penduduk Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat juga suku-suku bangsa lain, antara lain Bugis, Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak dan lain-lain yang jumlahnya dibawah 10%.

Bahasa

Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang secara umum dipakai oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Selain itu bahasa penghubung, yaitu bahasa Melayu Pontianak, Melayu Sambas dan Bahasa Senganan menurut wilayah penyebarannya. Demikian juga terdapat beragam jenis Bahasa Dayak, Menurut penelitian Institut Dayakologi terdapat 188 dialek yang dituturkan oleh suku Dayak dan Bahasa Tionghoa seperti Tiochiu dan Khek/Hakka.

Dialek yang di masksudkan terhadap bahasa suku Dayak ini adalah begitu banyaknya kemiripannya dengan bahasa Melayu, hanya kebanyakan berbeda di ujung kata seperti makan (Melayu), makatn (Kanayatn), makai (Iban) dan makot (Melahui). Khusus untuk rumpun Uut Danum, bahasanya boleh dikatakan berdiri sendiri dan bukan merupakan dialek dari kelompok Dayak lainnya.

Dialeknya justru ada pada beberapa sub suku Dayak Uut Danum sendiri. Seperti pada bahasa sub suku Dohoi misalnya, untuk mengatakan makan saja terdiri dari minimal 16 kosa kata, mulai dari yang paling halus sampai ke yang paling kasar. Misalnya saja ngolasut (sedang halus), kuman (umum), dekak (untuk yang lebih tua atau dihormati), ngonahuk (kasar), monirak (paling kasar) dan Macuh (untuk arwah orang mati).

Bahasa Melayu di Kalimantan Barat terdiri atas beberapa jenis, antara lain Bahasa Melayu Pontianak dan Bahasa Melayu Sambas. Bahasa Melayu Pontianak sendiri memiliki logat yang sama dengan bahas Melayu Malaysia dan Melayu Riau.

Sumber: http://saparuddin-sejarahkayong.blogspot.co.id/2012/05/sejarah-masa-lalu-kabu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *