Gencil News- VOA – Greenpeace Indonesia melaporkan dalam rentang 2011-2019, luas hutan yang hilang (deforestasi) di Provinsi Papua dan Papua Barat mencapai hingga 435 ribu hektare.
Hilangnya hutan tersebut turut berdampak pada semakin berkurangnya hutan sagu yang menjadi sumber pangan bagi masyarakat adat setempat.
Pembabatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah Papua berdampak pada semakin berkurangnya lahan hutan pohon sagu sebagai sumber pangan bagi masyarakat adat di wilayah itu.
Pegiat Perempuan Adat dan Ekonomi Kreatif di Kabupaten Maybrat, Papua Barat, Beyum Baru, mengatakan untuk mendapatkan sagu para perempuan harus berjalan kaki dua hingga sepuluh kilometer jauhnya dari kampung. Situasi itu membuat beras menjadi pilihan pertama bahan pangan masyarakat.
“Karena beras semakin banyak dikonsumsi di kampung, sagu-sagu yang dulunya selalu dikonsumsi, sudah tidak dikonsumsi lagi,” kata Beyum Baru dalam webinar yang diselenggarakan oleh Greenpeace Indonesia bertema “Sagu Terakhir, Sa Punya,” Selasa (7/9).
Data pemerintah dalam kegiatan Pekan Sagu Nusantara 2020 silam menyebutkan, Indonesia memiliki luas lahan sagu terbesar di dunia.
Dari 6,5 juta hektare lahan sagu di seluruh dunia, sebesar 5,4 juta hektare berada di Indonesia dan lebih dari 95 persen atau 5,3 juta hektare terfokus di wilayah Papua.
Jenis sagu yang tumbuh di wilayah Papua menghasilkan “pati” yang lebih tinggi dibandingkan sagu yang tumbuh di daerah lain.
Rasela Melinda, peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengungkapkan dalam 20 tahun terakhir sebanyak 1,5 juta hektare lahan masyarakat adat Papua telah beralih kepemilikan untuk kepentingan investasi.
Situasi ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat adat Papua, khususnya perempuan yang mengemban tanggung jawab lebih besar untuk penyediaan pangan rumah tangga.
“Karena bagi perempuan ini, hutan adalah ruang produksi mereka, tempat mereka kerja. Jadi kalau kita kerja ke kantor, perempuan kerjanya ke hutan. Mereka sebut hutan itu pasar raksasa, hutan itu apotek kami, di sana ada pangan, air, obat-obatan dan ruang aman,” jelas Rasela.
Alih fungsi lahan untuk investasi menyebabkan perempuan kehilangan ruang produksinya dan bahkan terkondisikan menjadi pekerja upahan di perkebunan.
Nico Wamafma, juru kampanye hutan Papua Greenpeace mendorong pemerintah melihat sagu di Papua bukan sekadar sebagai jenis tumbuhan, tapi sagu sebagai kehidupan masyarakat adat Papua. Pelestarian Sagu oleh masyarakat adat Papua dilakukan dalam skala kecil yang berbasis pada kearifan lokal.
“Kita ada lebih dari 250 suku dan di antara 250 suku itu, ada memang suku-suku yang kehidupannya melekat dengan sagu. Budidaya sagu skala kecil berbasis pada kearifan lokal masyarakat adat Papua yang juga menghitung daya dukung lingkungan itu sangat menjamin kualitasnya dan menjamin keberlanjutan pengelolaan di masa depan,” jelas Nico.
Ribuan Hektare Hutan Hilang
Juru bicara Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji menyebutkan sejak tahun 2015, sekitar 130 ribu hektare hutan hujan Papua dibabat oleh produsen minyak sawit.
“Greenpeace setidaknya memetakan kira-kira ada 25 produsen minyak sawit menebangi sekitar 130 ribu hektare hutan hujan sejak dari 2015 dan menemukan 40 persen deforestasi terjadi di Papua,” kata Sekar dalam diskusi tersebut.
Dia menambahkan data Greenpeace terbaru menyebutkan luas hutan yang hilang di Provinsi Papua dan Papua Barat antara tahun 2011 hingga 2019 mencapai hingga 435.223 hektare.
Sekar kemudian menjelaskan berdasarkan peta tutupan lahan hutan 2019 diperkirakan terdapat 71,2 juta ton karbon di dalam hutan Papua. Hutan mempengaruhi cuaca dengan mengontrol curah hujan dan penguapan air dari tanah. Hutan membantu menstabilkan iklim Bumi dengan menyimpan karbon dalam jumlah besar, jika karbon tersebut tidak tersimpan akan berkontribusi pada perubahan iklim.