GENCILNEWS – Buku ini mengisahkan antara lain, pasca wafatnya Paku Buwono XII, Keraton terbelit dalam suasana ketidakjelasan kepemimpinan.
Nina yang juga merupakan kerabat Keraton Surakarta, telah melakukan beberapa upaya untuk terwujudnya rekonsiliasi sebagai upaya penyelesaian konflik kepemimpinan Keraton Kasunanan Surakarta dalam lima tahun belakangan ini.
Setelah Pakubuwana XII wafatnya, atau selama sebelas tahun, konflik Keraton Kasunanan seakan memang tidak berujung. Masing-masing pihak melakukan klaim terhadap kepemimpinan keraton.
Hal itu berdampak pada pengelolaan bangunan keraton sebagai cagar budaya yang bermuatan pendidikan sejarah sekaligus pariwisata.
Bagi Nina, konflik yang terjadi semestinya tidak dipandang sebagai urusan internal keluarga keraton. Sebab, dalam sejarahnya, suksesi kepemimpinan keraton selalu ditentukan penguasa.
Pada masa pra-Indonesia, penguasa adalah pemerintah kolonial Belanda, yang aturan tertulisnya dapat ditemukan dalam buku Troonsopvolging in het rijk van Soerakarta (1851). Sedangkan sekarang, penguasanya adalah pemerintah Republik Indonesia.
Dalam konteks itu, pemerintah Republik Indonesia adalah pihak yang berkewajiban mengurus Keraton. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Surakarta dan Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010.
Karena itu, melalui buku yang datanya ia kumpulkan dari sumber-sumber di Indonesia maupun Belanda, Nina berpendapat bahwa perselisihan kepemimpinan dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta dapat diakhiri dengan berpijak pada sejarah keraton.