“Sementara kita lihat ada sesuatu yang menonjol, tapi bukan bakat. Ada yang besar, tapi bukan harapan, Bung? Apa itu? Oh perempuan-perempuan ini yaa.. Hahaahha.. Yang ada di tribun.”
Petikan komentator bola dalam siaran langsung pertandingan sepak bola Liga I Indonesia yang ditayangkan di stasiun salah satu tv swasta, pada Jumat lalu (6/3) menjadi viral.
Selang sehari setelah “insiden” ini, sebuah rekaman video yang menayangkan seorang perempuan mengenakan seragam sekolah diserang secara seksual, beredar di media sosial.
Dalam video berdurasi 30 detik itu, sejumlah orang yang berpakaian seragam sekolah juga tampak memegangi tangan dan kaki korban.
Berdasarkan informasi awal dan pilihan kata dalam video itu, tim siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi Utara bergerak cepat menyelidiki kasus itu.
Bersama Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Utara mendatangi sebuah SMA di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Enam pelaku – tiga siswa dan dua siswi – berusia antara 16-17 tahun sudah ditangkap polisi.
Lagi-lagi publik terhenyak. Jika dalam kasus komentator bola, pemikiran seksis keluar dalam bentuk komentar, dalam kasus di Bolaang Mongondow hal itu terwujud dalam serangan seksual. Terlepas dari apakah hal itu sekadar bercanda atau sungguhan.
Aktivis perempuan Lolly Suhenty melihat hal ini sebagai “fenomena yang memprihatinkan.”
Untuk kasus komentator bola, menurutnya, media punya peran besar untuk mendidik publik dengan mewartakan atau memberikan informasi yang benar, menjunjung nilai dan prinsip hak asasi… dan meminta maaf bukan berarti menyelesaikan persoalan.”
Hal senada disampaikan pendidik Henny Soepolo, yang menyesalkan masih rendahnya kesadaran gender. Gelar, pendidikan dan pekerjaan juga tak selalu berdampak positif melawan sikap patriarki atau misoginis.
“Sementara kesadaran bukan sekedar pengetahuan, tapi bagian dari kehidupan sehari-hari, yang sering tidak sejalan dengan kepekaan pada kemanusiaan atau penghargaan pada sesama. Dalam hal ini perempuan,” ujar Henny.
Lolly menilai sudah saatnya dirancang satu protokol pendidikan budaya, sosial, politik, hukum yang berperspektif gender.
“Kita sudah punya Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender PUG. Tapi belum diimplementasikan di seluruh sektor,” ujarnya.
Henny merujuk pada insiden serangan seksual di Bolaang Mongondow, yang menurutnya “jelas menunjukkan betapa minimnya kesadaran kekerasan seksual.”
Inpres Nomor 9 Tahun 2000 yang ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid ketika itu, sebenarnya telah secara rinci mendorong perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender. Ironisnya hingga kini belum banyak badan yang menerapkannya.