Scroll untuk baca artikel
Milenial

Wakil Ketua MUI Kalbar Sampaikan Urgensi Membangun Paham-Sikap Inklusif dan Moderasi Beragama

×

Wakil Ketua MUI Kalbar Sampaikan Urgensi Membangun Paham-Sikap Inklusif dan Moderasi Beragama

Sebarkan artikel ini
Wakil Ketua MUI Kalbar Sampaikan Urgensi Membangun Paham-Sikap Inklusif dan Moderasi Beragama
Wakil Ketua MUI Kalbar Sampaikan Urgensi Membangun Paham-Sikap Inklusif dan Moderasi Beragama

Gencil News – Dalam memahami hadits Nabi SAW, perspektif ilmu hadits merupakan bidang yang sangat luas yang masih harus dipelajari dan digali. Hal ini dikarenakan dalam penelitian hadits, objek penelitiannya mengarah pada otentisitas dan orisinalitas hadits, memahami makna hadits, dan menghayati hadits dalam bentuk yang diterima masyarakat, memahami hadits melalui bentuk penghayatan tradisi dalam masyarakat. masyarakat. Untuk memastikan keaslian Hadits apakah itu dari Nabi SAW.

Hal ini diungkapkan Prof. Dr. KH. Wajidi Sayadi, M.Ag saat membacakan orasi ilmiahnya berjudul “METODE MAQASHID AL-HADITS: (Membangun Paham-Sikap Inklusif dan Moderat dalam Beragama) saat acara Pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hadis, Senin, 19/12 pagi bertempat di Aula Syeikh A. Rani Mahmud IAIN Pontianak.

Adapun kajian mengenai pemahaman makna hadis ini merupakan lahan besar yang selalu terbuka untuk dibahas dan digali lebih jauh.

“Hadis Nabi Muhammad SAW. secara kuantitas tidak pernah bertambah dan kualitasnya sudah jelas, akan tetapi persoalan pemahaman makna yang terkandung dalam hadis itu masih sangat dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan, dan problem zaman yang dihadapi manusia. (an-nushush mutanahiyyah wa al-waqa’i gairu mutanahiyyah),” ujarnya.

Dirinya mengatakan bahwa dalam perkembangan studi hadis, seringkali yang menjadi pemicu konflik adalah persoalan pemahaman makna hadis (fahm ma’ani al-hadits), walaupun hadisnya sudah disepakati kesahihannya.

“Kompleksitas pemahaman hadis dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain karena hadis ini meliputi ucapan, perbuatan, takrir, sifat dan kondisi fisik Nabi SAW. sehingga pemahamannya sangat erat kaitannya dengan psikologi, sosiologi, fungsi, dan kedudukan Nabi SAW. dalam kehidupannya di tengah-tengah sosial masyarakat yang pluralitas,” tutur beliau.

Wakil Ketua Umum MUI Kalbar ini mengungkapkan dari sekian banyak metode yang digunakan para ulama dalam memahami hadis terdapat satu metode yang disebut maqashid al-hadits. Atau maqashid as-sunnah. Sebagaimana dalam kajian metodologi tafsir al-Qur’an dikenal dengan metode Tafsir Maqashidiy. Sebuah metode untuk menguak tujuan al-Qur’an baik secara general (kullih) maupun parsial (juz’iyyah) dalam rangka merealisasikan kemaslahatan umat manusia.

“Metode maqashid ini pada prinsipnya tidak hanya sekedar membaca dan menghafal teks hadis, akan tetapi lebih dari itu dengan mengetahui pesan, maksud, dan tujuan yang dikehendaki Rasulullah SAW. secara umum diharapkan akan tercipta kemaslahatan umat manusia dan terhindar dari segala macam kemudaratan. Dengan demikian, hadis-hadis dapat dibumikan dalam kehidupan realitas sosial kemanusiaan. Sebuah pemahaman makna hadis dengan mempertimbangkan pada tujuan pokok dan subtansi serta secara holistik. Metode pemahaman hadis seperti ini dapat mengantarkan pada pemahaman dan sikap inklusif dan moderat,” sampai beliau.

Ia mencontohkan salah satu praktik penggunaan metode maqashid al-hadits dalam memahami hadis adalah salah satunya pada hadis mengenai pengobatan:

Nabi SAW. bersabda:
عَلَيْكُمْ بِهَذِهِ الحَبَّةِ السَّوْدَاءِ فَإِنَّ فِيهَا شِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا السَّامَ” وَالسَّامُ المَوْتُ
Berobatlah dengan jintan hitam ini, sebab ia merupakan obat bagi segala penyakit kecuali kematian.
(HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah).

إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ وَالْقُسْطُ الْبَحْرِيُّ
Sesungguhnya yang sangat utama pengobatan kalian adalah bekam dan al-qusth al-bahr (sejenis kayu-kayuan dari laut). (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Dalam hadis ini, Nabi SAW. menyebutkan jintam hitam, bekam, kayu-kayuan dari laut, sebagai sarana pengobatan. Beliau menyebutkan sarana seperti ini sebagai sebuah contoh dan menjelaskan suatu fakta atau kejadian pada zamannya, tidak untuk mengikat bahwa semua umat Islam harus bahkan wajib berobat dengan apa yang disebutkan di dalam hadis tersebut. Sebagai sarana, bisa berubah-ubah sesuai perubahan perkembangan zaman, budaya, lingkungan, dan ilmu pengetahuan.

Adapun sarana pengobatan bisa bermacam-macam dan berubah-ubah sesuai perubahan perkembangan zaman, budaya, dan ilmu pengetahuan. Hari ini betapa banyak jenis obat dan pengobatan yang tidak pernah dikenal pada zaman Nabi SAW. Semuanya boleh selama tidak bertentangan dengan syariat.

Adapun Maqashidnya atau tujuan yang dikehendaki dalam hadis adalah perintah agar selalu memperhatikan dan memelihara kesehatan, keselamatan dan kenyamanan fisik dan hidup, mengedepankan kemaslahatan jiwa.

Berobatlah ketika sakit. Berusaha mencegah semua yang dapat menimbulkan munculnya gangguan kesehatan. Beristirahat ketika sedang lelah dan letih, makan dan minum ketika lapar dan haus. Inilah sunnah Nabi SAW. Inilah Maqashid as-Sunnah atau Maqashid al-Hadits.

Hal ini sesuai dengan Maqashid asy-Syariah adh-Dharuriyyah, yakni حفظ النفس (memelihara nyawa dan kesehatan adalah suatu kebutuhan pokok dan kewajiban. Kesehatan dan keselamatan jiwa lebih tinggi kedudukannya dan lebih didahulukan dari pada sekedar pahala dan keutamaan dalam sebuah ibadah.

“Cara pandang dan metode Maqashid as-Sunnah seperti inilah yang digunakan para ulama ketika masa Covid-19 sehingga berkesimpulan boleh tidak merapatkan shaf dalam shalat berjamaah, boleh tidak shalat berjamaah apabila dinilai oleh yang berkompeten akan menimbulkan dan menularkan penyakit, dan lain-lain,“ ujarnya.

Ia berharap melalui metode Maqashid al-Hadits ini diharapkan memahami secara substansil dan holistic membuat ajaran Islam menjadi Shalihun li Kulli Zaman wa makan (ajaran Islam selalu relevan dengan perkembangan situasional dan kondisional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *