Negara diserukan untuk memantau rumah-rumah ibadah – dengan melibatkan masyarakat – karena merupakan fasilitas publik yang sedianya memberi ketenangan, dan tidak dicemari dengan paham radikalisme atau lainnya. Mungkinkah hal ini dilakukan? Apakah akan membatasi kebebasan beribadah dan berpendapat?
Gencil News – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel mengusulkan sebuah mekanisme kontrol rumah ibadah yang melibatkan masyarakat setempat, bukan kontrol penuh dan sepihak oleh pemerintah.
Menurutnya, pengurus masjid dan tokoh agama setempat juga bisa berperan dengan melaporkan aktivitas atau ajaran yang berpotensi radikal. Usul itu disampaikan Rycko saat menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR tanggal 4 September lalu.
Yang menarik banyak warga setuju dengan usul itu, tak terkecuali Dr. Al Chaidar, pengamat terorisme di Universitas Mailikussaleh, Aceh, yang justru menilai pemantauan dan kontrol ini seharusnya sudah dilakukan sejak lama.
“Karena selama ini banyak sekali rumah ibadah menjadi sangat independen karena dibangun secara swadaya oleh masyarakat dan kemudian di dalamnya terdapat banyak hal-hal yang kontroversial dan konfliktual. Hal-hal yang kontroversial dan konfliktual inilah yang seharusnya tidak boleh disebarluaskan oleh umat beragama,” katanya.
Al Chaidar mengakui bahwa hanya sekitar lima persen rumah ibadah yang terlibat radikalisme dan terorisme, tetapi negara tetap berwenang melakukan pemantauan sebagai pertanggungjawaban penggunaan fasilitas publik.
Ia mencontohkan banyak konflik yang muncul dari masalah rumah ibadah, seperti sikap sebagian orang yang melarang pembangunan gereja di Bogor dan Bekasi, larangan membangun masjid Muhammadiyah di Aceh, larangan membangun masjid Ahmadiyah.
“Kalau sudah negara yang turun tangan, itu perlu untuk memproteksi kelompok-kelompok minoritas dan itu harusnya menjadi tanggung jawab negara. Belum lagi nanti ada masjid-masjid yang memang ada tersiar ajakan-ajakan kepada terorisme, radikalisme,” ujar Al Chaidar.
Al Chaidar mengakui di awal pelaksanaannya nanti, pemantauan terhadap rumah-rumah ibadah akan memicu gejolak tetapi lambat laun akan terbiasa. Umar beragama harus senantiasa mengembangkan sikap terbuka, kritis, dan bertanggung jawab, bukan hanya melempar tuduhan dan fitnah-fitnah yang bertentangan dengan ajaran agama, tambahnya.
Al Chaidar mencontohkan apa yang terjadi di Aceh, di mana jika ada khotib yang menyampaikan khutbah yang kontroversial bisa diturunkan dari mimbar; dan ini proses biasa dalam kehidupan keagamaan. Dia menekankan khatib, pendeta, dan tokoh agama harus bertanggung jawab atas seruan yang mereka sampaikan kepada jamaah.
Hasil Studi Banding
Kepala Badan Nasional Penanganan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Rykco Amelza Dahniel mengatakan usul pemantauan rumah-rumah ibadah itu merupakan hasil studi banding timnya ke beberapa negara, seperti Singapura, Malaysia, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Maroko – yang menerapkan kendali langsung terhadap tempat ibadah.
Namun dia mengakui situasi di Indonesia berbeda sehingga kontrol langsung oleh negara terhadap rumah ibadah tidak dapat dilakukan.
“Kita perlu memiliki sebuah mekanisme untuk melakukan kontrol terhadap seluruh tempat ibadah, bukan hanya masjid. Siapa saja boleh menyampaikan konten di situ, termasuk mengontrol isi terhadap konten, supaya tempat-tempat ibadah kita ini tidak dijadikan alat untuk menyebarkan ajaran-ajaran kekerasan, kebencian, menghujat glongan, pimpinan, bahkan menghujat pemerintah,” tutur Rycko.
Mekanisme kontrol yang diusulkannya bersifat kerjasama antara masyarakat setempat dan pemerintah dengan melibatkan tokoh agama, adat, dan budaya sebagai alternatif yang lebih cocok untuk Indonesia.
Menurutnya, mereka yang terindikasi menyebarkan gagasan kekerasan dan antimoderasi beragama, bisa dipanggil, diedukasi, diberi pemahaman, ditegur, dan diperingatkan oleh aparat keamanan setempat. jIka melawan atau mengulangi hal yang sama, masyarakat dapat melaporkkan pelaku ke pihak keamanan.