Scroll untuk baca artikel
Nasional

Resesi Seks Belum Singgah di Indonesia

×

Resesi Seks Belum Singgah di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Resesi Seks Belum Singgah di Indonesia
Resesi Seks Belum Singgah di Indonesia

Sejumlah negara di kawasan Asia, seperti China dan Jepang, kini tengah ketar-ketir dalam menanggapi pertumbuhan penduduknya yang anjlok. Indonesia sendiri belum terlalu memusingkan persoalan tersebut karena laju pertumbuhan penduduknya saat ini masih sesuai dengan target yang ditetapkan.

Gencil News – VOA – Kekhawatiran yang menimpa negara-negara seperti China dan Jepang terkait dengan anjloknya pertumbuhan penduduk mereka tidak dirasakan oleh Indonesia. Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia saat ini belum memasuki tahapan resesi seks, salah satu faktor penyebab dari turunnya pertumbuhan penduduk di kedua negara tersebut.

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia saat ini belum memasuki tahapan resesi seks, salah satu faktor penyebab dari turunnya pertumbuhan penduduk di kedua negara tersebut. (Foto: Biro Setpres)
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia saat ini belum memasuki tahapan resesi seks, salah satu faktor penyebab dari turunnya pertumbuhan penduduk di kedua negara tersebut. (Foto: Biro Setpres)

“Dan saya senang angka tadi yang disampaikan oleh dr Hasto (Kepala BKKBN), pertumbuhan (penduduk) kita di angka 2,1 (persen), dan yang menikah 2 juta, yang hamil 4,8 juta. Artinya di Indonesia tidak ada resesi seks. Masih tumbuh 2,1 ini bagus,” ungkap Jokowi dalam acara Rakernas Program Banggakencana dan Penurunan Stunting di Kantor BKKBN, Jakarta, Rabu (25/1).

Ia menjelaskan terus bertumbuhnya jumlah penduduk merupakan hal yang baik, karena bisa menjadi sebuah kekuatan perekonomian sebuah negara. Meski begitu, Jokowi kembali mengingatkan bahwa upaya untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) yang unggul juga tidak mudah. Salah satu fokus pemerintah saat ini untuk mewujudkan SDM yang unggul adalah melalui pemberantasan tingkat prevalensi stunting di Tanah Air, di mana tingkatnya kini telah turun ke level 21,6 persen pada 2022. Data sebelumya pada 2014 menunjukkan bahwa tingkat stunting di dalam negeri berada di level 37 persen.

Ia pun yakin angka stunting tersebut akan terus turun sesuai dengan yang ditargetkan, yakni menjadi 14 persen di tahun 2024 mendatang.

Dua bayi baru lahir di sebuah rumah sakit di Jakarta. (Foto: Reuters)
Dua bayi baru lahir di sebuah rumah sakit di Jakarta. (Foto: Reuters)

“Sekali lagi bahwa kualitas keluarga, kualitas SDM itu menjadi kunci bagi negara kita untuk berkompetisi bersaing dengan negara lain, dan sinergitas antara kementerian dan lembaga, pemda, nakes, TNI/Polri dan swasta, ini penting sekali,” kata Jokowi.

Fenomena resesi seks yang menimpa China dan Jepang ditandai dengan angka kelahiran yang terus menurun. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut, salah satunya karena masyarakat yang tidak mau menikah, bercinta dan memiliki keturunan.

Data terkini yang dirilis pada minggu lalu menunjukkan bahwa tingkat populasi China turun untuk pertama kalinya dalam lebih dari enam dekade.

Jumlah populasi di negara Tirai Bambu tersebut mengalami penurunan sebanyak 850.000 jiwa pada 2022 ke angka 1,41 miliar.

Sosiolog dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Anis Farida mengatakan berdasarkan angka pertumbuhan penduduk yang tercatat saat ini, Indonesia belum mengalami fenomena resesi seks, yang menimpa kekuatan besar Asia seperti China, Jepang dan Korea Selatan sejak 2014 silam.

Ia memandang fenomena tersebut cukup mengejutkan terjadi di wilayah Asia mengingat penduduk di negara Asia yang memiliki kecenderungan untuk mengagungkan keturunan.

Fenomena semacam itu, ujar Anis, dapat terjadi di Indonesia seiring dengan berjalannya waktu. Menurutnya, generasi muda di usia yang sudah matang untuk menikah pada saat ini banyak yang cenderung untuk menunda pernikahan dan memiliki anak dengan alasan karir ataupun melanjutkan pendidikan.

Sejumlah warga antre menerima bantuan dari Presiden Joko Widodo di tengah pandemi virus corona, di Jakarta, Jumat, 16 Juli 2021. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)
Sejumlah warga antre menerima bantuan dari Presiden Joko Widodo di tengah pandemi virus corona, di Jakarta, Jumat, 16 Juli 2021. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

“Itu menjadi salah satu pertimbangan yang kemudian nantinya akan muncul keengganan untuk menikah atau bahkan tidak punya anak, apalagi dengan fenomena yang terjadi di sekitar kita saat ini, betapa juga pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kebutuhan yang lain sedang tidak mudah sehingga orang juga berpikir bagaimana membentuk keluarga karena punya tanggung jawab yang berat,” ungkapnya kepada VOA.

Anis juga melihat bahwa faktor ekonomi memiliki peran besar dalam menyebabkan terjadinya resesi seks di berbagai negara-negara tetangga tersebut. Banyak dari penduduk yang berpikir bahwa membentuk sebuah keluarga dengan memiliki keturunan memiliki sebuah beban yang berat.

“Kalau waktu itu tahun 2014 yang mencuat adalah persoalan beban untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang diri saja bukan sesuatu yang mudah. Sehingga ketika membentuk sebuah keluarga tentu ada tanggung jawab yang lebih besar. tidak sekedar cukup makan, tapi juga pendidikan kepada anak di masa depan. Manakala suami istri ini juga bekerja maka butuh baby sitter juga yang menjaga, atau day care, dan hal lain yang tentunya cost-nya besar. Itu kalau yang ditemukan di negara-negara kawasan Asia seperti Jepang, Korea,” jelasnya.

Penumpang yang memakai masker pelindung berdiri di dalam kereta komuter pada jam sibuk sore hari saat varian omicron terus menyebar, di tengah pandemi COVID-19, di Jakarta, 3 Januari 2022. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Penumpang yang memakai masker pelindung berdiri di dalam kereta komuter pada jam sibuk sore hari saat varian omicron terus menyebar, di tengah pandemi COVID-19, di Jakarta, 3 Januari 2022. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Terlepas dari berbagai faktor penyebabnya, Anis menilai persoalan resesi seks tidak dapat dianggap sepele. Berbagai pihak terutama keluarga harus tetap menyosialisasikan mengenai pentingnya memiliki keturunan melalui sebuah lembaga perkawinan.

“Ini adalah sebuah case yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Pada kelas menengah tertentu sudah ada tren, bahwa anak-anak mereka lebih fokus kepada masa depan yang mana mungkin saja pertimbangannya tidak sekedar karir, tapi juga tahu betapa kemudian membangun sebuah keluarga ini tidak cukup dengan cinta dan kemudian butuh ekonomi maupun hal lain yang harus dipenuhi,” jelasnya.

Meski begitu, ia memprediksi bahwa Indonesia masih jauh dari resesi seks. Karena Indonesia sendiri dilaporkan masih akan menerima bonus demografi hingga tahun 2045.

“Artinya pada tahun itu kita masih belum ada problem dengan resesi seks ini. tapi kalau kita berhitung mereka yang saat ini berusia 20-an dan kemudian 20 tahun mendatang dan kalau punya komitmen tidak atau mengurangi untuk tidak menikah bahkan tidak punya anak, pasti akan mengalami penurunan terkait bagaimana kualitas SDM dan jumlah SDM yang ada,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *