Gencil News – Di hari-hari terakhir, publik hanya sering mendengar Gubernur membanggakan keberhasilannya menuntaskan pembangunan atau perbaikan jalan yang menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi.
Kemudian, ditambah dengan cerita tentang keberhasilannya mendorong lahirnya status desa mandiri di Kalimantan barat melalui Indeks Desa Membangun (IDM).
Selain itu, kita belum mendengar cerita keberhasilan lain. Setuju atau tidak setuju, penuntasan pembangunan jalan pencapaian yang biasa-biasa saja, dan belum spektakuler. Pekerjaan ini tidak memerlukan seni kepemimpinan tingkat tinggi.
Bahkan, grade leadership seperti Kepala Dinas cukup mampu menyelesaikan target pembangunan semacam ini. Pembangunan jalan itu masuk kategori pekerjaan kepemimpinan yang business as usual (BAU), dan tidak perlu managemen krisis yang kompleks.Â
Demikian pula dengan keberhasilan bertambahnya jumlah desa mandiri di Kalbar yang harus diakui adalah kerja kolektif seluruh kabupaten, dan peran pemerintah provinsi tidak terlalu besar.
Terlebih IDM hanya memerlukan komitmen dan kedisiplinan melengkapi secara administratif tiga indeks, yakni Ketahanan Sosial (KS), Ketahanan Ekonomi (KE) dan Ketahanan Lingungan (KL).
Gubernur mungkin tidak tahu bahwa status desa mandiri yang Ia banggakan belum merubah persoalan mendasar di pedesaan seperti kemiskinan, stunting, angka buta huruf, peningkatan pendapatan dan daya beli, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat di desa, bahkan kemajuan tata Kelola pemerintahan desa pun belum bertambah baik (good village governance).
Gubernur kita memang punya sedikit pengalaman dengan isu desa karna sebelumnya hanya berurusan dengan kelurahan.
Kita belum mendengar Gubernur dan wakilnya mengeluarkan kemajuan angka-angka tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar, stunting, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, pasar, indeks demokrasi, produk hukum, inovasi daerah, listrik, hutan dan lingkungan serta kebijakan-kebijakan baru yang mendukung kemajuan daerah dan masyarakat.
Mereka berdua, Midji-Norsan memang diuji dengan pandemi covid 19 dan pemulihannya kurang lebih hampir dua tahun. Namun semua pemimpin daerah menghadapi persoalan yang sama, dan disinilah sebenarnya momentum untuk memperlihatkan kapasitas krisis managemen seorang leader.
Ini memang tidak mudah, karena mandat Pilkada memang tidak hanya menghasilkan pemimpin yang dapat memimpin di masa normal, tapi juga mampu memimpin di masa sulit di daerah.
Output dari Pilkada kita yang mahal dan berbiaya tinggi itu adalah ingin menghasilkan jenis pemimpin yang mampu lolos untuk segala masa. Â
Selain kita tidak mendengar angka-angkat tersebut, Kita nilai Midji- Norsan juga terbata-bata dalam menjelaskan ulang terkait besarnya SILPA (sisa lebih pembiayaan anggaran) APBD provinsi dan realisasi DOB (daerah otonomi baru) Provinsi Kapuas Raya.
Publik memperhatikan jika Gubernur dan wakilnya lebih banyak mengelak daripada memilih untuk menjelaskan secara benar dan terang benderang terhadap dua tema penting tersebut. Penting karena anggaran berkorelasi langsung pada distribusi keadilan kepada masyarakat, dan politik anggaran seorang pemimpin yang berpihak kepada kepentingan umum diuji sekaligus ditunggu.
Pemekaran Provinsi Kapuas Raya juga penting untuk dipertegas untuk menilai jika pemerintah provinsi yang sekarang sudah serius memperjuangkannya. Â
Selama ini yang kita tahu dan ikuti, komunikasi publik Gubernur dan Wakil Gubernur terlalu interaktif untuk urusan saling tuding dan beraroma polemik daripada keterbukaan informasi yang sebenarnya terkait urusan tata Kelola pemerintahan, pembangunan daerah dan kemajuan daerah.
Gubernur jika kita perhatikan sangat menikmati pola komunikasi interaktif yang melibatkan emosi dan kemarahan publik daripada mengedukasi dan mengumpankan informasi yang cukup terkait kinerja kepemimpinan mereka berdua. Kita tidak dapat memaksakan gaya komunikasi seorang pemimpin, tapi publik juga punya hak untuk mengakses informasi yang baik dan benar untuk urusan kolektif mereka.
Jika Gubernur memiliki hambatan dalam berkomunikasi kepada publik, maka gunakan saluran komunikasi lain yang tersedia sebagai bagian dari pelayanan informasi publik yang berada di unit kerjanya. Keterbukaan informasi publik penting!
Sebagai pemimpin, mereka berdua harus berani menyatakan bahwa ada janji yang telah tunai, dan juga yang belum mampu diselesaikan.
Midji-Norsan mesti jantan, dan publik akan bersikap fair atas keberanian mereka mengakuinya. Bersikap transparan dan akuntabel adalah fondasi demokrasi kita di daerah yang harus dicontohkan oleh kepala daerah, khususnya Gubernur dan Wakil gubernur. Kalau tidak, prinsip tata Kelola pemerintahan daerah yang baik menjadi tidak ada artinya. Â
Suka atau tidak suka, kita memperhatikan jika pasangan ini sedang kesulitan untuk memperlihatkan secara percaya diri pencapaian yang telah berhasil mereka selesaikan.
Di penghujung periode ini, mereka seolah-olah sedang mencari-cari prestasi yang paling tepat untuk disampaikan kepada publik, mungkin karena terlalu banyak prestasi yang tersimpan, atau mungkin juga hanya sedikit sekali yang baru dapat dituntaskan. Mereka tentu ingin berakhir dengan ingatan yang baik oleh publik.
Janji selama kampanye dulu, berubah menjadi visi-misi daerah. Jika mereka tidak segera menunjukkan pencapaian kongkrit dimasa akhir ini, maka publik tentu tidak punya ukuran untuk menilai kualitas pencapaian tersebut, sekaligus kuantitas.
Indikator pencapaian pembangunan daerah punya detail sendiri untuk pembuktian. Komunikasikan keberhasilan-keberhasilan tersebut, dan tidak perlu ragu. Kecuali, Midji-Norsan tidak terlalu percaya diri untuk membuktikan semua kerja mereka selama ini.
 Akhirnya di akhir masa jabatan mereka, kita perlu menilai jika Midji-Norsan adalah paket kepemimpinan yang biasa-biasa saja atau extraordinary leadership.
Oleh Ireng Maulana* Pengamat Politik