Scroll untuk baca artikel
Opini

LGBT: Antara Diskriminasi dan Empati

×

<strong>LGBT: Antara Diskriminasi dan Empati</strong>

Sebarkan artikel ini
LGBT: Antara Diskriminasi dan Empati
LGBT: Antara Diskriminasi dan Empati

Pria dan pria bisa memiliki kisah cinta yang lebih romantis dibandingkan dengan pria dan wanita. Mereka bukan tak tertarik pada wanita, tetapi lebih tertarik pada pria seolah ada magnet kuat yang membuat mereka tak dapat beralih dari seorang pria.

Kerap juga terjadi, mereka bisa menebak mana yang termasuk kaum mereka, seperti ada ikatan batin kuat antara mereka.

Tak jarang dari mereka yang memiliki pacar seorang wanita, mendekati seorang wanita untuk menutupi jati diri mereka di depan umum.

Hal itulah yang dikisahkan oleh Adi, bukan nama sebenarnya, seorang yang saya kenal sebagai seorang gay. Adi menyatakan dalam suatu kesempatan kepada saya bahwa dari hubungannya yang sesama jenis, ia bisa merasa lebih mesra, terbuka, dan nyaman.

Gay adalah orientasi seksual yang merupakan bagian dari LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Tanggal 1 Maret diperingati sebagai Hari Solidaritas LGBT.

Berbicara mengenai tema LGBT, lumrah jika terdapat pihak yang pro dan kontra terhadap masalah ini, juga ada yang netral atau no comment.

Pihak pro pasti memiliki alasan tersendiri mengapa mendukung LGBT, dan pihak kontra pasti memiliki alasan tersendiri mengapa menentang. Sedangkan, pihak netral biasanya tak ambil pusing dengan isu LGBT ini selama tidak mengganggu mereka.

Perlakuan Terhadap LGBT

Seperti yang kita tahu bahwa Amerika Serikat adalah negara yang sangat berpengaruh terhadap negara lainnya karena keterlibatannya dalam berbagai urusan dunia terutama dalam hal ekonomi.

Baca juga  Lirik Immortal Love Song - Dewa19 All Star Feat Dino Jelusić 

Amerika merupakan negara super power yang melegalkan pernikahan sesama jenis pada tahun 2015. Beberapa negara di Eropa pun ada yang menerapkan kebijakan serupa.

LGBT sama sekali tidak ditentang atau dibatasi di sana. Tidak menutup kemungkinan bahwa negara-negara lain ingin ikut melegalkan pernikahan sesama jenis atas dasar perlindungan hak asasi manusia, termasuk Indonesia.

Di Indonesia fenomena LGBT ini masih terbilang ditutup-tutupi. Artinya kebanyakan kaum mereka malu untuk mengakui bahwa mereka memiliki orientasi seksual yang berbeda, walaupun ada beberapa golongan dari LGBT, terutama transgender, yang tidak segan untuk mengungkap jati diri mereka melalui platform media terkenal misalnya TikTok atau YouTube.

Mirisnya, meskipun dihujat orang lain, mereka seolah bangga akan hal yang mereka lakukan. Contohnya Lucinta Luna, seorang transgender.

Meski didiskriminasi, ia tidak malu. Ia malah senang dengan perlakuan itu karena namanya ramai dibicarakan, dan tawaran pekerjaan makin banyak yang datang kepadanya.

Perlakuan masyarakat Indonesia terhadap LGBT masih terbilang sarkastis karena kebanyakan memandang LGBT bertentangan dengan norma dalam masyarakat.

Apalagi bila meninjaunya dari segi agama yang jelas-jelas dilarang. Oleh karena itu, kaum LGBT masih banyak mendapat diskriminasi dari masyarakat karena orientasi tersebut dianggap tidak wajar.

Perlakuan itu pun membuat masyarakat ada yang memilih untuk diam-diam mendukung LGBT untuk dilegalkan termasuk mendukung hari peringatan solidaritas LGBT pada tanggal 1 Maret.

Baca juga  Tips Mengatasi Gejala Omicron, Kenali Dulu Gejalanya

Mereka mungkin mengatakan, selama hal itu tidak merugikan orang lain, mereka tidak perlu dilarang atau didiskriminasi. Namun, jika mereka berpikir lebih jauh tentunya hal itu akan merugikan orang lain untuk kedepannya, salah satunya adalah penularan penyakit seksual.

Misalnya Desember tahun lalu, pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan statistik penularan HIV/AIDS sepanjang 2022.

“Yang perlu menjadi perhatian dari semua kasus tersebut 74 persennya diderita oleh kelompok laki-laki, dan 26 persen kelompok perempuan, dengan penyebab utamanya adalah hubungan sesama jenis, disusul pengguna narkotika,” kata Dewi Sartika, Asisten Pemerintahan, Hukum dan Kesejahteraan Sosial Jawa Barat (Republika, 28 Desember 2022).

Disini kita dapat melihat, bahwa tingginya penularan HIV/AIDS di kalangan LGBT terjadi karena mereka yang berorientasi seksual LGBT melakukan hubungan seksual dengan bergonta-ganti pasangan.

Pendidikan dan LGBT

Kasus terhadap diskriminasi terhadap LGBT beberapa kali terjadi di Indonesia, dan kita perlu menyadari bahwa diskriminasi berlebihan pada orang lain bukan hal baik untuk dilakukan. Saya tidak membenarkan perilaku LGBT, tapi tidak pula mendukung mereka yang mendiskriminasi para pelaku LGBT seakan-akan lebih baik dalam hal apapun dibanding kaum LGBT.

Pendidikan semestinya menjalankan fungsi untuk menyadarkan kaum LGBT bahwa hal yang mereka lakukan itu salah.

Melalui pendidikan, mereka dapat diberikan ajakan positif yang membuat mereka sadar. Diskriminasi yang dilakukan terhadap mereka hanya akan membuat mereka merasa putus asa, malu dan depresi. Bahkan yang lebih parahnya, bisa saja membuat mereka mengakhiri hidup. Cara demikian hanya akan membuat situasi semakin keruh, tanpa solusi.

Baca juga  Media Vietnam : Timnas Indonesia Tim Paling Terinternasionalisasi

Menurut saya, seorang guru perlu mengembangkan kepedulian kepada siswa dan siswinya. Seorang guru perlu mengasah empati bagi siswa dan siswinya yang memiliki “perbedaan” tertentu, misalnya perilaku seksual.

Di dalam kelas maupun sekolah, guru juga perlu terus menyadarkn siswanya bahwa perilaku diskriminasi bukanlah perilaku baik. Bila seorang guru mendapati muridnya terjerumus dalam LGBT, sebaiknya ia berusaha mengarahkan si murid tersebut agar dapat hidup lurus.

Misalnya, ada seorang siswa lelaki yang memiliki sifat agak kewanitaan maupun sebaliknya, maka disitulah seorang guru berkesempatan untuk mendidik murid itu agar meninggalkan perilaku tersebut. Disitu jugalah seorang guru mendapat kesempatan untuk mengajari siswa yang lain agar tidak berperilaku diskriminatif kepada mereka yang memiliki sifat-sifat berbeda.

Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan dalam hal ini juga perlu bersikap lebih tanggap dan peduli. Guru-guru bimbingan konseling yang ada di sekolah perlu dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang menangani siswa atau siswi yang memiliki kecenderungan LGBT.

*) Anti JuniartiMahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Tanjungpura, Pontianak

Biografi Singkat         : Adalah seorangan mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Tanjungpura, Pontianak. Belakangan meminati dunia tulis-menulis dan mencoba membuat berbagai tulisan tentang berbagai tema pendidikan, sosial dan budaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *