GENCIL NEWS – VOA – Berbeda dengan tim pemenangan Ganjar atau Prabowo yang kerap melakukan kampanye masif, tim Anies-Cak Imin lebih memilih format dialog saat berkampanye.
“Yang kami sangat percaya adalah engagement, bersilaturahmi yang lebih dari sekedar seremonial, tapi benar-benar dialog. Kami punya forum ‘Desak Anies’, ‘Slepet Imin’, dan ‘Locker Room Timnas’. Ini luar biasa sekali. Bahkan ada pendukung paslon sebelah yang juga ikut hadir, mendesak dan mempertanyakan, menagih janji-janji kami, apakah sesuai fakta dan realitas,” ujar Tom Lembong dalam wawancara khusus VOA di Washington D.C.
TPN AMIN: Lapangan Kerja Jadi Keprihatinan Utama Anak Muda
Tom Lembong mengatakan timnya sangat percaya bahwa “generasi milenial dan Z adalah yang paling terdidik dalam sejarah negara kita, dan sejak usia muda sudah dapat mengkofirmasi seluruh informasi dari semua penjuru dunia, lewat YouTube, sosmed, Netflix dan lain lain. Jadi mereka sudah bertahun-tahun menyerap berbagai informasi kekinian, termasuk mengenai ekonomi, lingkungan hidup, isu sosial.”
“Saya kira isu utama bagi pemilih muda saat ini adalah lapangan pekerjaan, dan sulitnya mencari pekerjaan yang membanggakan dengan penghasilan dan jadwal kerja yang stabil,” jelasnya.
TPN AMIN Hindari Kebijakan Luar Negeri Transaksional
Secara khusus VOA mengklarifikasi beberapa isu yang disampaikan capres-cawapres masing-masing tim dalam debat terbuka sebelumnya. Untuk tim AMIN, pernyataan Anies Baswedan soal “tidak akan melanjutkan kebijakan luar negeri yang transaksional” menarik perhatian banyak kalangan.
Tom Lembong, selaku Co-Captain Timnas AMIN, mengatakan ia tahu persis orientasi yang sangat transaksional, yang disampaikan Anies karena pernah menjadi menteri perdagangan dan menteri investasi di kabinet itu. Semua hubungan luar negeri ditujukan hanya untuk dua yaitu investasi dan ekspor.
“Tidak ada semangat untuk hal-hal lain yang menjadi keprihatinan atau ancaman bersama, misalnya krisis iklim, virus atau kuman baru yang berpotensi memicu pandemik baru, bagaimana mengatasi penyakit kronis (diabetes, jantung, darah tinggi) atau obesitas yang paling cepat naik di negara berkembang. Untuk solusi seperti ini harusnya kolaborasi antar negara, tetapi seluruh orientasi hubungan luar negeri kita fokus pada investasi dan ekspor,” komentarnya.
“Pemerintah berulangkali bilang ‘kuncinya di investasi!’. Nah saya mau tanya, setelah selama sepuluh tahun obsesi pada investasi, kenapa pertumbuhan ekonomi kita tidak naik-naik, tetap di 4-5 persen. Seharusnya jika memang kita gencar dengan investasi maka pertumbuhan ekonomi kita sudah tujuh persen. Jika sebuah strategi tidak berhasil, masa’ diteruskan. Kita perlu evaluasi dan perubahan,” ujarnya.