Scroll untuk baca artikel
Travel

Gimana Rasanya Tarawih di Luar Negeri?

×

Gimana Rasanya Tarawih di Luar Negeri?

Sebarkan artikel ini
Gimana Rasanya Tarawih di Luar Negeri?
Gimana Rasanya Tarawih di Luar Negeri?
Gimana Rasanya Tarawih di Luar Negeri?
Gimana Rasanya Tarawih di Luar Negeri?

Menjalankan ibadah puasa jauh di negeri orang pada saat Ramadan memiliki keistimewaan tersendiri.

Simak pengalaman beberapa Muslim Indonesia di AS dalam melaksanakan ibadah puasa sekaligus sholat tarawih pertama kalinya di negeri empat musim ini.

Bulan Ramadan tahun ini, masyarakat Muslim Amerika melaksanakan ibadah puasa di tengah-tengah musim semi. Lama puasa kali ini rata-rata mendekati 16 jam. Sejumlah persiapan pun dilakukan, baik fisik maupun mental. Alda Hamid, yang pernah bekerja di rumah produksi di Jakarta dan belum setahun ini menetap di Maryland, merasa senang, karena ini juga yang pertama kalinya ia berpuasa dengan status menikah.

“Alhamdulillah seneng banget. Sahur bisa bareng, buka puasa juga bareng. Sholat sekarang sudah ada imam-nya,” kata Alda.

Jam puasa yang panjang di Amerika menjadi tantangan tersendiri bagi sejumlah Muslim asal Indonesia, yang baru pertama kali melaksanakan Ramadan di Amerika.

Hasna Fadhilah merasakan sholat tarawih agak larut, karena waktu maghrib saja sekitar pukul 8 malam di Washington DC. Dosen IPDN Jatinagor yang sedang menjalani fellowship dengan Religious Freedom Institute itu merasa khawatir karena sholat tarawih berakhir pukul10-11 malam.

“Dengan kondisi ini, kadang saya khawatir untuk pergi, namun kemudian di hari ke-dua tarawih, dari komunitas masjid banyak yang menawarkan tumpangan ke rumah,” kata Hasna Fadhilah.

Khawatir akan waktu puasa yang bisa mencapai 16 jam di Amerika, tidak pernah dialami Irwan Saputra. Mahasiswa yang juga menjabat sebagai Vice President di Persatuan Mahasiswa Indonesia di AS (Permias DC), melaksanakan sholat tarawih malam pertama Ramadan di IMAAM Center, Maryland.

“Tapi, karena lokasi yang sangat jauh, malam selanjutnya saya shalat di apartemen dengan kawan di apartemen yang juga muslim dari Afghanistan. Saya selalu jadi imam di shalat kami,” kata Iwan.

Maryam Nisywa sangat menikmati puasa 16 jam di Washington D.C., dengan tetap menahan lapar dan nafsu sepanjang hari. Mahasiswa George Washington University itu, bersyukur dengan cuaca musim semi yang sejuk dan beruntung dapat melaksanakan tarawih bersama keluarga yang sedang menetap di Amerika.

“Semenjak hari pertama tarawih, kami mengundang beberapa kerabat dekat untuk melaksanakan shalat tarawih di rumah kami,” kata Maryam Nisywa.

Rizki Harahap yang pernah tinggal di Jakarta dan Medan, kini bermukim di Durham, North Carolina. Beberapa masjid di kota tempat Rizki kuliah dan tinggal bersama anak dan istrinya, menyelenggarakan tarawih berjamaah.

“Menariknya, Duke University Centre of Muslim Life (CML) juga menyelenggarakan buka bersama, sholat tarawih berjamaah, dan pengajian selama Ramadan,” jelas Rizki.

Sementara itu Mauliyah asal Yogjakarta menangis terharu untuk pertama kali bisa menjalankan Ramadan dan sholat tarawih pertamanya di Islamic Center of San Diego. Mauliyah mengungkapkan sholat tarawih di sini tampak seperti perpaduan antara NU dan Muhammadiyah dan ia tidak merasa canggung untuk menyesuaikannya.

“Sholat tarawih dilakukan sebanyak delapan rakaat, sama seperti orang Muhammadiyah, dan ketika sholat witir mereka menggunakan bacaan doa qunut, sama seperti orang NU di Indonesia,” kata Mauliyah. [mg/uh]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *