Gencil News – Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki rencana untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Pernyataan ini disampaikan sebagai tanggapan atas kabar bahwa Indonesia di sebut telah menyetujui pembukaan hubungan resmi dengan Israel sebagai salah satu syarat untuk menjadi anggota OECD.
“Dengan tegas, hingga saat ini tidak ada rencana untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, terutama dalam konteks kekejaman yang tengah terjadi di Gaza saat ini. Posisi Indonesia tetap kukuh dalam mendukung kemerdekaan Palestina dalam kerangka solusi dua negara,” ujar Lalu.
Bantahan ini juga merespons kabar yang di laporkan oleh surat kabar Israel, Yediot Ahronot, yang menyebutkan bahwa Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann, telah menghubungi Menteri Luar Negeri Israel untuk membahas kemungkinan pembukaan hubungan resmi dengan Indonesia.
Iqbal menjelaskan bahwa proses keanggotaan Indonesia di OECD membutuhkan waktu yang cukup panjang, dengan banyak persiapan yang harus di lakukan. Dia menambahkan bahwa Indonesia sudah memiliki keanggotaan di berbagai forum ekonomi dan kemitraan internasional yang lebih bermanfaat secara ekonomi, seperti ASEAN, MIKTA, dan APEC.
Bantahan itu sekaligus menepis kabar yang di lansir surat kabar Israel, Yediot Ahronot, bahwa Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann dua pekan lalu sudah menyurati Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz. Dalam surat itu di sebutkan bahwa Indonesia setuju membuka hubungan resmi dengan Israel agar bisa di terima bergabung dengan OECD.
Israel memang menolak rencana Indonesia masuk OECD. Karena negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar sejagat ini tidak mau mengakui Israel sampai Palestina merdeka dan berdaulat.
Iqbal menjelaskan bahwa proses Indonesia untuk menjadi anggota OECD membutuhkan waktu cukup lama. Peta jalan akan di adopsi Mei mendatang berisi banyak sekali yang harus di persiapkan oleh Indonesia.
Menurutnya, waktu yang di perlukan setiap negara untuk menyelesaikan proses keanggotaan penuh di OECD berbeda-beda bergantung pada kesiapan masing-masing. Ia menyebutkan beberapa negara memerlukan waktu tiga tahun, sebagian lagi lebih dari lima tahun untuk dapat di terima masuk OECD.
Menanggapi hal tersebut, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah mengatakan. Indonesia sudah memiliki keanggotaan yang lebih bermanfaat dari segi ekonomi ketimbang bergabung dengan OECD, seperti ASEAN, MIKTA. Kemitraan komprehensif dengan beragam negara, dan APEC.
Indonesia jangan sampai terpancing oleh provokasi terkait isu Palestina-Israel.
“Saya pikir Indonesia nggak perlu masuk (OECD) dan kita jangan terpancing untuk masuk atau untuk menanggapi hal itu. Karena kombinasi ASEAN, APEC, ASEAN Community plus MIKTA. Plus kemitraan ekonomi kawasan, plus perjanjian bisnis seperti Zona Perdagangan Bebas ASEAN-China, itu sudah jauh di atas OECD,” ujarnya.
Menurut Rezasyah, kalau salah satu syarat menjadi anggota OECD adalah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Pemerintah Indonesia tidak akan berani mengambil risiko. Dia menyarankan agar pemerintah mundur dari rencana bergabung dengan OECD.
Dia mengatakan OECD lah yang membutuhkan Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar di kawasan Asia Tenggara. Kemudian di prediksi menjadi ekonomi terbesar nomor tujuh di dunia.
“ASEAN Free Trade Area digabungkan dengan MIKTA di gabungkan lagi dengan regional economy comprehensive partnership angkanya sudah jauh di atas OECD,” tambahnya.
Jika sampai terjebak dengan isu relasi resmi dengan Israel, lanjut Rezasyah, pemerintah Presiden Joko Widodo bisa kelabakan. Dalam kondisi sekarang, berbicara hubungan dengan Israel saja bisa merepotkan pemerintah secara luar biasa.
Dia menilai masyarakat Indonesia itu sadar sehingga pemerintah tidak boleh main-main untuk membuka hubungan resmi dengan Israel, karena dampaknya akan sangat besar sekali. Apalagi sejak 7 Oktober tahun lalu, Israel terus membombardir Jalur Gaza.